Sania luckyta
DIA
Siang ini cuaca tak
seperti biasanya, matahari sepertinya enggan menjalankan tugasnya dengan baik.
Awan hitam mulai menutupi langit, hujan pun mulai membasahi jalanan. Dari dalam
toko kopi aku melihat seorang anak kecil dengan riangnya berlari-lari mengejar
anak kecil lainnya. Mereka terlihat gembira sekali. Padahal hujan sedang turun,
tapi mereka seolah tidak peduli. Mereka hanya
berlari, berteriak, dan tertawa gembira. Bagi mereka, semudah itu
mendapatkan kebahagian.
“Huh.” Aku membuang
napas. Ini sudah pukul tiga, tetapi orang itu tidak juga muncul. Sudah 1,5 jam
aku menunggu sendiri di toko ini. Bahkan pengunjung yang duduk di depan mejaku
sudah berganti tiga kali, dan orang itu belum juga datang.
“Aku sudah 1,5 jam
menunggu di sini. Kau akan datang atau tidak?” tulisku dalam pesan singkat.
“Kalau kau tidak
datang juga, aku anggap masalah kita selesai. Kau tidak perlu menjelaskan
apa-apa lagi padaku.” tulisku lagi. Kutaruh telepon genggamku dan kembali
memandang keluar. Langit semakin menggelap, seakan menggambarkan suasana
hatiku. Kupejamkan mata, haruskah semua ini berakhir seperti ini? mengapa harus
dengan cara ini? Aku sudah berpikir masak-masak akan keputusanku kali ini.
Sekarang, aku tinggal menunggu orang itu datang dan mengatakannya.
Setengah
jam kemudian orang itu tidak juga menampakkan batang hidungnya. Dengan kesal
aku pun menarik tasku dan berjalan keluar toko. Hujan di luar masih turun,
walau sekarang hanya rintiknya saja yang tersisa. Aku berjalan menuju mobilku,
mobil keluaran Jepang dengan warna favoritnya, biru. Di dalam mobil aku kembali
membuka telepon genggamku, belum juga ada balasan. Aku sudah mengirimkan pesan
lima kali dan belum satu pun yang dibalasnya.
“Maunya apa sih orang
ini? dia yang membuat janji, dia sendiri yang tidak datang.” Omelku dengan
kesal. Langsung saja kunyalakan mesin mobilku dan meluncur pulang.
***
Sudah
dua bulan kejadian itu berlalu, dan kini aku kembali kedalam rutinitasku. Aku
masih sering keluar kota untuk mencari bahan untuk liputanku. Pekerjaanku
sebagai jurnalis memang mengharuskanku untuk selalu siap sedia ketika di
tugaskan keluar kota. Suatu hal yang tidak bisa ia terima. Dahulu, ketika aku
masih bersamanya, ia selalu saja mempermasalahkan pekerjaanku ini.
“Untuk apa kau pergi ke sana?
Bukankah banyak partner kerjamu yang laki-laki? Mengapa kamu yang harus pergi?”
“Karena aku adalah jurnalis senior
di majalah ini. Wajar saja aku yang diminta untuk meliput ke sana.”
“Tapi apakah kau harus pergi dengan
Gilang? Mengapa tidak dengan Tiya asistenmu itu.”
Masalah
itu lagi. Aku sudah lelah dengan masalah yang selalu diungkit-ungkitnya. Sudah
berapa kali aku jelaskan tentang hubunganku dengan Gilang, salah satu junior di
kantor majalahku.
“Aku juga pergi dengan Tiya, kau
tenang saja. Aku hanya pergi 3 hari, kau tidak perlu khawatir.” Jawabku tenang
sebagai balasan. Aku tau sifatnya yang keras kepala itu tidak akan mudah
mengalah jika sudah membahas masalah ini.
“Aku percaya padamu, tapi aku tidak
percaya padanya. Kau harus mengabariku selama di sana. Oke ?”
Huh, aku mulai lelah
dengan perintah-perintahnya. Padahal sebelum ia mengenalku, ia sudah mengetahui
akan profesiku sebagai jurnalis. Lalu mengapa sekarang ia melarangku untuk
pekerjaan yang sudah membesarkan namaku ini?
Kugerakan
tanganku seakan-akan menghapus ingatan yang ada di dalam pikiranku. Itu sudah
berlalu, sekarang aku harus bisa kembali seperti dulu. Aku menyalakan komputer
dihadapanku. Sebuah email masuk. Aku melihat siapa pengirimnya, seketika
jantungku berdegup kencang.
Era, maafkan aku tidak datang waktu
itu. Aku tidak bisa meninggalkan isteriku yang sedang sakit. Kau tahu bukan,
setelah isteriku mengetahui hubungan kita ia jadi suka melakukan hal-hal aneh.
Maaf karena aku baru memberitahumu sekarang, dan maafkan juga karena aku tidak
memberikanmu pesan apapun. Aku sekarang berada di Semarang, untuk waktu yang
entah sampai kapan.
Aku tahu kamu marah padaku, aku juga
tau kau kecewa padaku. Tapi sebenarnya aku tidak memiliki niatan untuk
memubuatmu merasakan itu. Apa kau masih marah padaku hingga sekarang? Semoga
perlahan-lahan kau bisa menerima maafku. Aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu,
semoga kau menemukan kebahagian yang lebih besar daripada yang dulu pernah aku
berikan padamu.
- Erik
“Sialan!” umpatku kesal. Setelah
menunggu sekian lama, hanya permintaan maaf yang dia berikan ? dan apa itu ?
dia menyebut-nyebut soal isterinya. Hei, kau pikir bagaimana perasaanku ketika
aku tahu ternyata kau berbohong atas statusmu ?
Semua
ini harus segera di selesaikan.
Untuk Erik
Dua bulan kau menghilang dan hanya
itu yang ingin kau katakan? Kukira kau sudah mempersiapkan kata-kata yang lebih
baik daripada itu.
Kau tahu rik, Setiap kali aku ingin berbicara padamu, aku merasa
bahwa ada kata yang hilang. Bukan tak terucapkan tapi hilang. Dan aku tak
mempunyai hak atau kewajiban untuk mencarinya. Karena kini aku bukan
siapa-siapa lagi untukmu. Kumohon kau jangan kembali kehadapanku, aku sudah
mulai menerima situasiku sekarang. Terima kasih atas doamu, semoga kau
juga bahagia dengan keluargamu.
-Rera
Kirim.
“Setelah ini semua akan baik-baik
saja. Ya, aku yakin aku bisa melupakannya.” ujarku tersenyum. Senyum untuk
pertama kalinya, setelah dua bulan terberat yang pernah aku lalui sepanjang
hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar